Ada stereotipe yang sulit dihilangkan dari kacamata orang awam ketika melihat dunia game. Prasangka yang sebagian besar berorientasi negatif ini seolah tumbuh menjadi “identitas” menyimpang yang sulit untuk dihapuskan. Keterlibatan yang mampu diciptakan video game lewat cerita dan mekanisme gameplaynya dipercaya mampu memicu sisi agresivitas gamer dan seringkali berujung pada tindak kekerasan dan kriminal. Beragam hasil penelitian sanggahan yang valid tetap tidak mampu meredam stereotipe ini. Video game tetap menjadi kambing hitam atas beragam kejahatan, seperti kasus yang terjadi di Vietnam ini.
Luyen, seorang remaja Vietnam berusia 17 tahun ditangkap oleh pihak berwajib setempat pada bulan Agustus 2011 silam. Tidak main-main, ia menjadi tersangka atas serangkaian tindak kejahatan brutal kepada sebuah keluarga. Ia membunuh seorang pria berusia 37 tahun, sang istri, dan seorang anak perempuan berusia 19 bulan. Luyen juga dikabarkan memotong tangan anak perempuan lain yang berusia 9 tahun hingga putus. Apa yang mendasari kekejaman ini? Remaja labil ini menyatakan bahwa ia butuh uang untuk membayar biaya bulanan game online yang sedang ia mainkan – Kiem The, beserta beberapa utang yang lain. Luyen sendiri dihukum 18 tahun penjara untuk kejahatannya ini.
Kasus Luyen ini tentu menambah deretan panjang kasus kriminalitas yang menjadikan game sebagai “alasan logis” dan motif untuk sebuah tindak kejahatan. Beberapa media di Vietnam bahkan ikut terpancing untuk masuk dalam pusaran steriotipe yang memosisikan dunia game sebagai alternatif hiburan yang begitu negatif. Bagi sebagian besar gamer, termasuk Anda dan saya tentu memahami bahwa ada begitu banyak faktor yang mungkin mempengaruhi tindakan yang dilakukan Luyen, tidak hanya semata video game. Keputusan orang awam untuk menutup mata dan hanya menyalahkan video game tentu sesuatu yang sangat disayangkan. Tidak ada satupun gamer yang tertarik untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Luyen.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar