Pages

Rabu, 25 Januari 2012

Ketika Istri dan Anak Dapat Warisan HIV dari sang Ayah

img
  Vivi tahu suaminya adalah pemakai narkoba suntik tapi ia sama sekali tidak tahu suaminya sudah terinfeksi positif penyakit HIV (Human Imunnodeficiency Virus). Dua hari sebelum anaknya lahir, suaminya meninggal dunia. Yang lebih memprihatinkan suaminya meninggalkan warisan HIV kepada bayi dan dirinya.

Vivi menceritakan kisah 10 tahun lalu yang artinya 10 tahun sudah ia dan anaknya yang kini juga berumur 10 tahun menjadi Orang dengan HIV AIDS (ODHA). Ibu dan anak ini adalah korban HIV akibat ditularkan si ayah yang positif HIV akibat narkoba.

Sampai di akhir hidupnya, sang suami tak pernah cerita kalau sudah terinfeksi positif HIV. Vivi baru mencurigai keanehan tersebut pada bayinya yang saat itu berumur 40 hari.

"Waktu anak saya usia 40 hari ia mulai sakit-sakitan, mulai dari diare dan sariawan banyak di mulut. Suami ternyata waktu itu sudah HIV positif tapi dia tidak cerita," ujar Vivi (33 tahun) dalam acara Getting To Zero 2015: Melindungi Keluarga dan Perempuan Indonesia dari Infeksi HIV/AIDS, Sanggupkah? di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (25/1/2012).

Vivi pun akhirnya menceritakan latar belakang dari sang suami pada dokter, hingga akhirnya dokter mencurigai si anak memiliki HIV/AIDS. Saat melakukan tes ternyata didapatkan hasilnya positif yang berarti ibunya juga positif.

"Saat tahu hasilnya positif itu jujur pertama kali yang saya pikirkan adalah salah apa saya. Dari situ mulai timbul perasaan mau marah, malu dan saya sampai 2 tahun enggak mau keluar rumah," ungkapnya.

Sebelumnya, ia berpikir dengan memiliki anak bisa membuat suaminya berhenti menggunakan narkoba dan jarum suntik, tapi ternyata tidak. Ia pun menceritakan saat hamil 6 bulan, ia pernah ditendang oleh suaminya karena sang suami tidak ingin memiliki anak.

Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, pada 6 Januari 2002 sang suami meninggal dunia dan anaknya pun lahir tanggal 8 Januari 2002. Vivi pun harus berjuang mengurus anak dan mengobati penyakit dirinya yang kini keduanya terkena HIV.

"Begitu anak saya keluar dari rumah sakit itu enggak boleh kotor-kotor, handuk harus diganti setiap hari, tiap menit harus benar-benar higienis, karena anak ini pernah kena gizi buruk, paru-paru dan sariawan saat dilahirkan," ujarnya.

Setelah sang anak dirawat hampir 16 minggu di RS Mitra Jatinegara, ia pun diperbolehkan keluar dan berobat ke RSCM untuk mendapatkan terapi obat antiretroviral (ARV). Tapi saat itu kondisi Vivi yang justru drop, bahkan CD4-nya (komponen kekebalan tubuh yakni Cluster Differentiation 4) di bawah 100.

"Waktu itu aku belum mau terapi ARV, dirawat 2 minggu di rumah sakit. Dulu sempat kena Stevens-Johnson Syndrome yang kulitnya hitam-hitam kebakar gitu, sempat juga dulu mau bunuh diri," ujar Vivi.

Vivi dan sang anak harus minum obat secara teratur setiap harinya agar si virus tidak menjadi resisten. Karena obat yang diminum keduanya sudah masuk pengobatan lini 2 yang berarti jika si virus sampai resisten, maka ia butuh obat lini 3 yang harganya jauh lebih mahal dan harus diimpor dari Bangkok.

"Anakku sempat marah kalau ada wartawan yang ambil foto dia, karena dia enggak mau banget dibilang HIV. Kadang dia juga masih suka nanya 'Bunda kok aku sehat tapi selalu disuruh minum obat', itu pertanyaan yang selalu bikin aku nangis, karena aku sendiri juga sulit menjelaskannya," tutur Vivi.

Sang anak pun sering kali mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Pernah suatu kali ketika ia main ke rumah temannya ia disuruh membawa gelas sendiri jika ingin minum di rumah tersebut.

Saat ini keduanya bisa mendapatkan obat secara gratis karena sudah disubsidi, tapi ketika tahun 2002, ia masih harus membiayai sendiri pengobatan untuk dirinya dan sang anak yang bisa mencapai Rp 2 juta setiap bulannya.

Kini sang anak sudah kelas 4 SD dan ia mulai sedikit mengerti mengenai penyakitnya, karena Vivi sering mengajak anaknya ke acara seminar-seminar. Ketika bayi ia memberikan obat ARV dengan cara digerus dan sirup, tapi sekarang ia sudah bisa minum obat sendiri.

Terkadang sang anak yang mengingatkan Vivi untuk minum obat, 'Bun jangan lupa minum obat nanti resisten loh', dan ia pun mulai tahu kalau resisten itu berarti obatnya sudah kebal. Setiap harinya Vivi harus mengonsumsi 4 obat secara teratur sedangkan anaknya 3 obat.

Meski begitu saat ini Vivi dan sang anak bisa hidup seperti orang sehat tapi tetap mengonsumsi obat secara teratur dan menjaga pola makan karena tidak bisa makan sembarangan atau pinggir jalan seperti pecel lele atau sate kambing.

"ODHA itu juga manusia dan banyak pantangannya, sayur mentah itu bisa bikin diare dan bakterinya kumpul. Kalau ODHA diare itu bisa bikin nilai CD4 nya turun dan lemas, karena tiap menit buang air dan enggak bisa ketahan, itu penyakit yang paling nyebelin buat ODHA. Jika ODHA mengalami diare maka ia tidak mempan mengonsumsi obat generik, ia harus minum obat paten," ujar Vivi.

Kini Vivi pun sudah menikah kembali dengan sesama ODHA. Ia menuturkan menikah dengan orang yang statusnya sama membuatnya lebih merasa nyaman. Meski begitu ia kini tidak mau punya anak lagi.

"Sebenarnya sih bisa saja punya anak, tapi PMTCT (Prevention Mother To Child Transmision) nya mahal sekali minimal Rp 50 juta budgetnya, karena untuk caesar harus beli alat dan tempat tidur sendiri, semua-semuanya," ungkapnya.

Meski begitu saat ini Vivi dan buah hatinya tetap berjuang dan hidup normal dengan melakukan banyak hal sambil terus mengonsumsi obat secara patuh agar tidak resisten.

"Saya mendapatkan support dari keluarga, buat ODHA support dari keluarga itu penting. Sekarang saya tidak pernah menyesal lagi karena tertular dari suami, tapi sekarang saya harus terus maju dan tegar," ujar Vivi.




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More