Pages

Jumat, 06 Januari 2012

Kelangkaan Dokter di Daerah Terpencil Bukan untuk Diratapi

img
Jakarta, Karena distribusi tidak merata, beberapa daerah di Indonesia memang kekurangan dokter. Solusi jangka panjang memang dibutuhkan, namun pemberdayaan sumber daya yang ada saat ini jauh lebih penting daripada cuma meratapi kondisi ini.

"Jangan terlalu meratapi kondisi ini, memaksakan untuk cukup dokternya di semua tempat itu butuh waktu lama," kata Dr Zaenal Abidin, M.HKes, Ketua Terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam Diskusi Awal Tahun yang digelar Lembaga Kajian Kesehatan dan Pembangunan di Kafe Nona Bola, Menteng, Jumat (6/1/2012).

Menurut Dr Zaenal, kekurangan tenaga dokter di beberapa daerah yang sulit dijangkau bisa diatasi dengan sistem satelit. Satu atau beberapa dokter cukup berkeliling saja di sejumlah daerah asalkan di tempat-tempat itu sudah ada fasilitas kesehatan dasar.

Daerah-daerah yang menjadi satelit tidak harus punya dokter sendiri, cukup punya ahli kesehatan masyarakat, ahli lingkungan, perawat atau bidan. Namun dokter yang berkeliling untuk memberikan pelayanan di hari-hari tertentu harus difasilitasi transportasi yang memadai baik berupa mobil maupun kapal.

Soal distribusi dokter yang tidak merata ini, Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah memberikan solusi melalui penempatan dokter-dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang diprioritaskan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan. Namun dalam praktiknya, program ini kurang menjawab persoalan.

"Sejak program PTT (Pegawai Tidak Tetap) bersifat sukarela, kita tidak bisa menempatkan dokter semau kita sehingga tetap tidak merata," kata Kepala Pusat Perencanaan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan, drg Tri Tarayati, SH dalam jumpa pers sebelumnya di Kemenkes pada hari yang sama.

Terlepas dari masalah distribusi tenaga dokter, Mantan Menteri Kesehatan Prof Dr Farid Anfasa Moeloek, SpOG mengritik sistem pelayanan kedokteran saat ini yang dianggapnya masih kuno. Sistem yang dianut di Indonesia masih warisan zaman kolonial, sementara di Belanda sendiri sudah ditinggalkan.

Sistem yang dimaksud Prof Moeloek adalah fee for service, yakni dokter menerima uang langsung dari pasien yang dilayaninya. Menurutnya, sistem seperti ini sangat membebani pasien yang tidak mampu dan tidak menciptakan keadilan di bidang kesehatan.

"Dokter kita kalau praktik masih pakai jas dengan kantong yang besar, itu buat masukin uang. Karena tiap kali pasien datang, dokter terima uang. Itu warisan Belanda dan harus diubah karena di Belanda sana malah sudah ditinggalkan," kata Prof Moeloek yang juga hadir dalam Diskusi Awal Tahun.

Agar tercipta keadilan dan pemerataan akses layanan kesehatan, Prof Moeloek mengatakan adanya program jaminan kesehatan atau semacam asuransi adalah kebutuhan mutlak. Dengan demikian, dokter hanya menerima uang dari asuransi dan bukan dari pasien secara langsung.

Soal pembiayaannya, sistem asuransi memungkinkan terjadinya subsidi silang antara orang kaya dengan orang miskin. Orang kaya memberikan subsidinya bagi orang miskin, sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam hal akses pelayanan kesehatan.



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More